Klasifikasi miskin dan kaya tampaknya menjadi realitas yang tidak dapat dihindari dalam struktur sosial masyarakat. Namun, keberadaan disparitas ini tidak mencerminkan absennya upaya untuk mengentaskan kemiskinan. Faktanya, sebanyak 149 negara di dunia menyediakan program cash transfer pada 2017 (World Bank, 2017). Isu kemiskinan tidak hanya berasosiasi dengan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi. Dalam perspektif yang lebih luas, status sosial ekonomi yang rendah berdampak terhadap seluruh aspek kehidupan, mencakup kesehatan, pendidikan, ketahanan terhadap guncangan, dan peran individu dalam pasar tenaga kerja. Bagi pemerintah, perhatian terhadap masalah kemiskinan menjadi suatu keharusan, sebab dampaknya melibatkan kualitas sumber daya manusia yang pada akhirnya mempengaruhi kelangsungan semua sektor ekonomi di suatu negara. Namun, meskipun upaya pengentasan kemiskinan terus menjadi perhatian utama pemerintah terutama di negara berkembang, pertanyaan yang masih muncul adalah mengapa kemiskinan selalu ada?
Perspektif kebijakan: Mengapa kemiskinan tidak dapat dihilangkan meskipun sudah ada banyak program bantuan sosial?
Selama kemiskinan masih ada, pemerintah terus menyediakan program-program sosial. Di negara-negara berkembang dan transisi, sekitar 2,5 miliar orang tercakup dalam program-program jaring pengaman, dengan 650 juta orang berasal dari kuintil termiskin pada tahun 2018 (World Bank, 2018). Meskipun demikian, sebuah pertanyaan mendasar muncul: mengapa kemiskinan masih belum dapat diatasi? Meskipun bank sentral dapat menggunakan kebijakan suku bunga untuk mencapai tingkat inflasi yang diinginkan, dan pandemi Covid-19 telah diatasi melalui vaksinasi, peraturan penggunaan masker, bantuan medis, dan tindakan karantina wilayah (lockdown), mengapa kemiskinan masih menjadi tantangan yang sulit diatasi? Mengapa upaya-upaya tersebut belum sepenuhnya berhasil dalam mengentaskan kemiskinan?
Kemiskinan bukanlah tantangan yang berdiri sendiri; dampaknya meluas ke berbagai bidang kehidupan. Mengatasi kemiskinan merupakan tantangan yang kompleks karena pemerintah harus mengarahkan perhatiannya pada berbagai aspek. Selain itu, salah satu tantangan yang masih dihadapi oleh pemerintah dan para pembuat kebijakan adalah identifikasi dan penentuan sasaran. Sebagai contoh, pada tahun 2020, ketika pandemi Covid-19 melanda, hanya 25% dari total jumlah anak di seluruh dunia yang tercakup dalam perlindungan sosial, sementara hanya 18,6% dari mereka yang mengalami pengangguran yang menerima tunjangan pengangguran (ILO, 2020). Cakupan bantuan sosial yang rendah ini mencerminkan kelemahan dalam penargetan, di mana kelompok-kelompok yang seharusnya menerima bantuan justru tidak menerima bantuan.
Ada banyak metode yang dapat digunakan dalam penargetan, seperti proxy means test, seleksi mandiri, dan sebagainya. Pemerintah harus menerapkan strategi penargetan yang cermat untuk memastikan bahwa anggaran yang terbatas dapat dioptimalkan dan dialokasikan kepada individu dan rumah tangga yang benar-benar membutuhkan bantuan. Namun, menentukan penerima bantuan bukanlah hal yang mudah. Pertanyaan yang muncul adalah apakah bantuan akan diberikan kepada rumah tangga miskin atau rumah tangga yang berhak? Hal ini menjadi dilema bagi para pengambil kebijakan yang dihadapkan pada keterbatasan anggaran.
Salah satu pendekatan alternatif yang paling efisien adalah dengan mengarahkan program bantuan kepada masyarakat yang paling miskin. Dengan skema ini, pemerintah secara strategis memprioritaskan program untuk individu yang masuk dalam kategori the poorest of the poor terlebih dahulu, kemudian secara bertahap memperluas cakupannya ke kelompok yang lebih miskin. Contoh nyata dari penerapan desain kebijakan ini dapat dilihat di Indonesia, di mana pemerintah membentuk Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) untuk mempercepat upaya penanggulangan kemiskinan dengan fokus khusus pada kemiskinan ekstrim. TNP2K membentuk basis data terpadu (Basis Data Terpadu/BDT) yang berisi data rinci rumah tangga miskin, yang memungkinkan identifikasi kemiskinan dengan pendekatan mikro. Data terpadu ini menjadi dasar penyaluran bantuan kepada rumah tangga termiskin sehingga ketepatan dan efisiensi dapat lebih terjamin.
Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa pengumpulan data membutuhkan alokasi anggaran yang besar dan waktu yang cukup lama, namun harus diakui bahwa data merupakan elemen kunci dalam perumusan kebijakan. Disadari atau tidak, data memainkan peran sentral dalam pengambilan keputusan strategis. Sayangnya, pemahaman akan pentingnya peran data dalam proses perumusan kebijakan tidak selalu meresap secara merata di kalangan pejabat pemerintah. Akibatnya, penyiapan data sering kali terkendala oleh kurangnya pemahaman yang komprehensif dan pendekatan yang holistik. Penting untuk dicatat bahwa biaya yang dikeluarkan akibat kualitas data yang buruk jauh melebihi biaya yang dikeluarkan untuk pengumpulan data itu sendiri.
Tantangan dalam pelaksanaan program pengentasan kemiskinan tidak hanya terbatas pada masalah penargetan. Masalah lain yang muncul adalah moral hazard. Moral hazard dapat didefinisikan sebagai kondisi dimana penerima manfaat, terutama dalam konteks asuransi, cenderung mengambil risiko kesehatan atau mengesampingkan perilaku sehat karena merasa terlindungi oleh jaring pengaman yang sudah tersedia. Mengidentifikasi moral hazard merupakan salah satu kunci untuk merancang kebijakan yang lebih baik. Dengan memperhitungkan moral hazard, pembuat kebijakan dapat mempertahankan manfaat dengan menurunkan risiko yang mungkin terjadi.
Salah satu strategi kebijakan yang dapat mengurangi potensi moral hazard adalah Bantuan Tunai Bersyarat (Conditional Cash Transfer/CBT). Kebijakan ini mengimplementasikan pemberian bantuan sosial kepada penerima dengan syarat rumah tangga penerima harus memenuhi sejumlah persyaratan yang telah ditentukan. Syarat-syarat tersebut dirancang dengan tujuan untuk mengakhiri siklus kemiskinan dan menciptakan dampak positif jangka panjang bagi kehidupan rumah tangga penerima bantuan. Syarat-syarat tersebut dapat berupa kewajiban bagi anak-anak untuk bersekolah, kewajiban bagi para ibu untuk melakukan kunjungan rutin ke pusat-pusat kesehatan selama masa kehamilan dan masa nifas, keikutsertaan dalam pelatihan kerja, dan sebagainya.
Kemiskinan di mata orang miskin: Kemiskinan bukanlah sebuah pilihan
Selain mengkaji topik ini dari sudut pandang kebijakan pemerintah, kita juga perlu memahami masalah kemiskinan dari sudut pandang subjeknya: masyarakat miskin. Saya berharap bagian ini dapat mengubah cara pandang Anda terhadap kemiskinan dan lebih berempati kepada kaum miskin.
Mari kita mulai bagian ini dengan melihat sebuah perumpamaan sederhana.
"Joseph bangun kesiangan dan terlambat ke sekolah."
Mari kita tentukan apakah premi di atas dapat diringkas dengan kalimat di bawah ini,
"Jika Joseph terlambat ke sekolah, itu karena dia ketiduran."
Apakah kedua kalimat di atas memiliki arti yang sama? Jawabannya adalah tidak. Bisa saja Joseph terlambat karena macet, karena lupa membawa sesuatu dan harus kembali ke rumah, karena ada penutupan jalan saat menuju ke sekolah, atau alasan lainnya.
Sayangnya, kesalahpahaman ini sering ditemukan dalam cara kita memandang orang miskin. Oleh karena itu, jika Anda ingin mengatakan "Jika seseorang miskin, itu karena mereka tidak bekerja keras", pikirkanlah kembali. Faktanya, kemiskinan adalah masalah yang kompleks dengan banyak alasan di baliknya. Menurut saya, pendapat tersebut dibuat oleh mereka yang kurang berempati, cuek, dan menilai segala sesuatu dari materi. Mereka bahkan lupa bahwa kesuksesan mereka bukan semata-mata hasil dari kerja keras mereka, tetapi juga dukungan dari orang-orang, relasi, keistimewaan, dan keberuntungan. Jika Anda dapat mengesampingkan materi dan melihat lebih jauh ke dalam sisi sosial dari kemiskinan (dan kesuksesan yang Anda miliki), Anda tidak akan sampai pada kesimpulan tersebut. Mungkin orang miskin adalah yang paling pekerja keras di antara kita.
Dalam dunia yang kompetitif di mana orang-orang berlomba-lomba untuk menjadi kaya secara finansial dan bahkan melebihi standar hidup yang memadai, ambisi dapat membutakan orang untuk percaya bahwa kemiskinan adalah sebuah pilihan. Beberapa orang berpendapat bahwa individu yang menghadapi kondisi ekonomi yang sulit adalah orang yang malas atau tidak memiliki tekad yang kuat untuk memperbaiki keadaan finansial mereka. Asumsi bahwa setiap orang dapat menjadi makmur melalui kerja keras menciptakan persepsi yang tidak akurat dan terlalu menyederhanakan kompleksitas kemiskinan. Penting untuk diingat bahwa realitas kemiskinan melibatkan dinamika dan faktor-faktor kompleks yang tidak selalu dapat diatasi hanya dengan upaya individu.
Terlahir miskin ibarat burung tanpa sangkar, mereka tidak memiliki dasar yang kuat untuk merencanakan masa depan, bahkan untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari. Penghasilan yang diperoleh hanya cukup untuk kebutuhan primer dan mendesak. Selain itu, mereka menghadapi keterbatasan kesempatan kerja karena rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan. Akibatnya, siklus kemiskinan akan terus berlanjut. Kesulitan keuangan diperparah dengan kondisi kesehatan yang buruk, yang dapat memperburuk kondisi keuangan dan kemampuan bekerja. Akses terhadap makanan bergizi dan kebutuhan dasar dengan sanitasi yang memadai sulit diperoleh, yang berdampak signifikan terhadap kesehatan dan fungsi kognitif, serta kesejahteraan psikologis. Lebih buruk lagi, beberapa rumah tangga miskin harus membayar untuk mendapatkan air bersih. Namun, bagaimana mereka mendapatkan air tersebut? Bagaimana mereka membawanya pulang? Apakah mereka menggunakan wadah yang bersih dan tertutup? Apakah mereka mencuci tangan terlebih dahulu? Terakhir, apakah air yang sampai di rumah sebersih air bersih yang mereka beli sebelumnya? Lihatlah betapa kompleksnya masalah kemiskinan hanya dari satu contoh ini.
Di sisi lain, sebagian besar dari mereka juga memiliki kemampuan pengelolaan uang yang rendah. Ini karena, seperti yang saya sebutkan di atas, mereka terbiasa membelanjakan pendapatan mereka hanya untuk hal-hal yang penting saja. Ketika seseorang berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka seperti makanan, tempat tinggal, dan perawatan kesehatan, perencanaan keuangan jangka panjang mungkin menjadi terabaikan. Fokusnya sering kali bergeser ke masalah-masalah yang mendesak daripada keputusan keuangan yang berorientasi pada masa depan. Selain itu, mereka mungkin memiliki akses terbatas ke layanan perbankan dan keuangan tradisional. Hal ini dapat menghambat kemampuan mereka untuk belajar dan mempraktikkan keterampilan manajemen keuangan yang sering kali difasilitasi oleh lembaga keuangan arus utama. Jadi, tidak heran jika bantuan sosial dalam bentuk uang tunai tidak serta merta dapat mengentaskan sebuah keluarga dari kemiskinan.
Sebagai penutup artikel ini, saya ingin menekankan sekali lagi bahwa kemiskinan bukanlah masalah yang mudah untuk diatasi. Terlepas dari berbagai upaya dan program bantuan yang telah dilakukan, kemiskinan masih menjadi kenyataan yang sulit diatasi. Tantangan muncul baik dari pemerintah maupun pembuat kebijakan. Di sisi lain, hidup dalam kemiskinan berarti hidup dalam kondisi dengan segala keterbatasan yang menghambat dari segala sisi, dan mereka yang tetap berada dalam kemiskinan bukan berarti tidak memperjuangkannya. Dengan menyadari kompleksitas kemiskinan, kita dapat mengakui bahwa setiap kelompok dalam masyarakat memiliki peran yang berarti dalam upaya pengentasan kemiskinan. Hal ini bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau lembaga-lembaga pemberi bantuan, tetapi merupakan tugas bersama kita sebagai makhluk sosial. Apapun yang kita miliki, baik berupa materi, kepandaian, maupun keahlian, haruslah menjadi sumber daya yang kita salurkan kepada mereka yang kurang beruntung.